Jumat, 06 Mei 2011

IMPLEMENTASI MBS


  1. Implementasi Berbagai Model Dan Karakteristik MBS


Implementasi MBS
Pengertian implementasi dalam kamus besar bahasa indonesia ialah pelaksanaan atau penerapan. Jadi yang dimaksud dengan implementasi MBS ialah penerapan sistem yang memberikan keleluasaan kepada sekolah disertai dengan pemberian tanggungjawab dalam mengelola sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu sekolah.

Langkah-langkah Implementasi MBS
Setiap sekolah pasti ingin meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan sebuah manajemen sekolah yang efektif dan efisien. Alasan inilah yang mendorong perlunya implementasi MBS di sekolah-sekolah. Umaedi (2004) dalam Umaedi, dkk (2009: 6.27) mengajukan langkah-langkah implementasi MBS ialah sebagai berikut (1) evaluasi diri sekolah dalam penyelenggaraan sekolah. Langkah ini menuntut keterbukaan, kesadaran dan kejujuran pengelola sekolah untuk menemukan dan membuka jati diri sekolah yang sebenarnya. Langkah ini diikuti dengan (2) perumusan visi, misi dan tujuan sekolah, (3) perencanaan, (4) pelaksanaan, (5) evaluasi, dan (6) pelaporan.
Evaluasi ialah penilaian. Penilaian dilakukan terhadap pengelolaan yang telah dilakukan oleh sekolah yang meliputi seluruh bagian yang ada di sekolah. Setelah dilakukan penilaian tentunya sekolah dapat mengetahui sejauh mana kemampuan sekolah dalam melaksanakan pengelolaan selama ini dan dapat menentukan hal apa yang selanjutnya akan diperbaiki untuk mewujudkan MBS dan meningkatkan mutu pendidikan. Setelah itu, maka sekolah harus merumuskan visi atau pandangan ke depan sekolah dalam memperbaiki pengelolaan yang sesuai dengan MBS serta tujuan yang ingin dicapai. Langkah selanjutnya ialah membuat perencanaan, melaksanakan apa yang telah direncanakan, mengadakan penilaian terhadap sejauh mana keberhasilan pelaksanaan MBS, dan melaporkan hasilnya kepada pihak-pihak terkait.

Strategi Implementasi MBS
Implementasi MBS akan berjalan secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu membiayai staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua) yang tinggi.
Kondisi sekolah-sekolah di Indonesia saat ini sangat bervariasi dilihat dari segi kualitas (sangat maju sampai dengan sangat ketinggalan), lokasi sekolah (perkotaan sampai dengan daerah terpencil), dan partisipasi masyarakat (mulai dari partisipasi yang tinggi, sedang, sampai dengan yang tidak berpartisipasi sama sekali). Kondisi-kondisi tersebut merupakan permasalahan rumit yang perlu ditangani antara lain dengan cara mengimplementasikan MBS.
Mulyasa (2006: 59) mengemukakan bahwa, agar MBS dapat diimplementasikan secara optimal, perlu adanya pengelompokkan sekolah berdasarkan tingkat kemampuan manajemen masing-masing sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pihak-pihak terkait dalam memberikan dukungan. Adapun pengelompokkan tersebut adalah sebagai berikut:
Kemampuan Sekolah
Kepala Sekolah dan Guru (termasuk kepemimpinan)
Partisipasi Masyarakat (termasuk dukungan dana)
Pendapatan Daerahdan Orang tua
Anggaran Sekolah (di luar anggaran pemerintah)
1.     Tinggi
Berkompetensi tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
2.     Sedang
Berkompetensi sedang
Sedang
Sedang
Sedang
3.     Rendah
Berkompetensi rendah
Kurang
Rendah
Kecil/tidak ada

Pengelompokkan ini menunjukkan beragamnya kemampuan sekolah dalam melaksanakan manajemen. Usaha yang harus dilakukan oleh sekolah serta perlakuan pemerintah terhadap sekolah haruslah berbeda sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh sekolah. Di sini hendaknya pemerintah melakukan upaya-upaya yang mendukung dan membantu sekolah-sekolah dengan kemampuan manajemen yang kurang untuk dapat mempersiapkan dan melaksanakan MBS dengan baik.

Tahap Implementasi MBS
Penerapan MBS secara menyeluruh sebagai realisasi desentralisasi pendidikan memerlukan perubahan-perubahan tentang aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana, serta partisipasi masyarakat. Hal ini merupakan permasalahan pendidikan yang rumit yang akan mempengaruhi kecepatan waktu pelaksanaan MBS. Oleh karena itu, MBS diyakini akan dapat dilaksanakan paling tidak melalui tiga tahap yaitu jangka pendek (tahun pertama sampai dengan tahun ketiga), jangka menengah (tahun keempat sampai dengan tahun keenam), dan jangka panjang (setelah tahun keenam).
Ada juga pendapat lain kaitannya dengan tahap pengimlementasian MBS. Fattah (2000) dalam Mulyasa (2006: 62) mengemukakan bahwa secara garis besar, tahap implementasi MBS ada tiga, yaitu tahap sosialisasi, piloting, dan desiminasi.
Kedua pendapat di atas sama-sama mengemukakan tentang tahap pengimplementasian MBS, hanya saja terdapat perbedaan segi di antara keduanya. Pendapat yang pertama mengemukakan tahap yang berjangka, sedangkan pendapat yang kedua menemukakan tahap implementasi MBS secara umum.pelaksanaan tahap jangka pendek difokuskan pada sosialisasi dan pelatihan terhadap sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana MBS agar masing-masing pihak dapat mengetahui hak dan kewajibannya. Lalu selanjutnya dapat dilakukan perubahan-perubahan yang mendasar tentang aspek-aspek pendidikan sebagai pelaksanaan dari jangka menengah dan panjang.
Pendapat yang kedua mengemukakan tahap implementasi MBS meliputi tahap sosialisasi, piloting atau tahap uji coba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko, dan tahap diseminasi atau tahap memasyarakatkan model MBS yang telah diuji coba ke berbagai sekolah agar sekolah dapat mengimplementsaikannya secara efektif dan efisien.

Implementasi Berbagai Model MBS
1.    Implementasi Model MBS di Australia
Satori (1999) dalam Mulyasa (2006:71-74) menyajikan model MBS yang telah diimplementasikan di Australia adalah sebagai berikut:
1.    Konsep Pengembangan
MBS atau School Based Management merupakan refleksi pengelolaan desentralisasi pendidikan di Australia. MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan menyangkut visi, misi, dan tujuan/sasaran sekolah yang membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum sekolah dan program-program operatif lainnya. MBS dibangun dengan memperhatikan kebijakan dan panduan dari pemerintah Negara bagian dan partisipasi masyarakat melalui school council (SC) serta parent and community association (P&C).
2.    Ruang Lingkup Kewenangan
Aspek kewenangan dalam MBS meliputi:
a.    Menyusun serta mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar.
b.    Melakukan pengelolaan sekolah yang menggambarkan kadar pelaksanaan MBS.
c.    Membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pelaksanaan MBS.
d.   Menjamin dan mengusahakan sumber daya.
3.    Jenis Pengorganisasian MBS
Pengorganisasian pengelolaan sekolah menggambarkan kadar kewenangan yang diberikan kepada sekolah.
a.    Standar Flexibility Option (SO)
Dalam hal ini, peran dan dukungan kantor distrik lebih besar. Kepala sekolah hanya bertanggung jawab terhadap penyusunan rencana sekolah dan pelaksanaan pelajaran. Kantor distrik bertanggungjawab terhadap pengesahan dan monitoring serta sebagai penasehat.
b.    Enchanced Flexibility Option (EO1)
Peran sekolah bertanggung awab untuk menyusun rencana strategis sekolah untuk tiga tahun dengan bimbingan dan pengesahan dari kantor distrik. Kantor distrik berperan dalam (1) memberikan dukungan kepada kepala sekolah dalam peplaksanaan monitoring internal; (2) menandatangani/membenarkan isi rencana sekolah.
c.    Enchanced Flexibility Option (EO2)
Distrik hanya berperan sebagai lembaga konsultasi. Kantor distrik hanya membrikan dokumen yang disusun dan disahkan oleh sekolah bersama school council berupa school planning overview, school annual playing, dan school annual report.
Dalam http://uyunkperduli.webnode.com/news/mbs/ dikemukakan penjelasan-penjelasan beberapa ahli megenai implementasi berbagai model MBS.
2.    Implementasi Model MBS di Kanada
Abu-Duhou, I (1999:37-55) mengemukakan bahwa Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar
kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
3.    Implementasi Model MBS di Hongkong
Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Kerangka acuan akuntabilitas tersebut mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, serta mempertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggaran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat. Sekolah juga diminta untuk membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya – yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akademis, profil tenaga kependidikan dengan memberikan gambaran tentang pergantian staf, kualifikasi, dan kompetensinya.
4.    Implementasi Model MBS di Indonesia
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkannmanajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang)..
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.

Karakteristik MBS
MBS adalah bentuk reformasi pendidikan dimana pada prinsipnya sekolah memperoleh kewajiban,wewenang,dan tanggung jawab dalam meningkatkan kinerja sekolah. Oleh sebab itu MBS menyediakan layanan pendidikan yang menyeluruh dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah.
Prinsip pemerataan dan keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan,efisiensi,dan mutu pembelajaran merupakan karakteristik utama MBS yang dimiliki oleh pendekatan ini. Dalam kaitan ini persyaratan utama yang diperlukan adalah :
1.    Adanya kebutuhan untuk berubah.
2.    Adanya restrukturisasi organisasi.
3.    Proses perubahan sebagai proses belajar.
4.    Adanya budaya professional di sekolah.
Dalam pelaksanaan MBS ada beberapa hal yang mensyaratkan harus adanya prinsip sebagai berikut :
a. Partisipasi
Partisipasi berarti memberikan kesempatan warga sekolah dan masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Ilustrasi penerapannya antara lain setiap 2 bulan sekali di sekolah diadakan rapat yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua murid atau wali murid jika merupakan suatu yayasan dapat juga ketua yayasan untuk memantau perkembangan sekolah serta evaluasi pendidikan serta memberikan solusi-solusi dalam setiap masalah yang dimiliki oleh sekolah.
b. Transparansi
Yang dimaksud dengan transparansi adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Ilustrasi penerapannya antara lain orang tua murid mendapatkan hak untuk mengakses nilai anak mereka melalui sebuah web sekolah atau mendapatkan laporan nilai siswa dari guru kelasnya. Selain itu, orang tua murid mendapatkan transparansi keuangan setiap pembayaran SPP.
c. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah, melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu :
Ø Standar isi
Ø Standar proses
Ø Standar kompetensi lulusan
Ø Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
Ø Standar sarana dan prasarana
Ø Standar pengeloolaan
Ø Standar pembiayaan
Ø Standar penilaian pendidikan
Ilustrasi penerapannya antara lain setelah pembelajaran berlangsung selama 1 tahun atau 2 semester, kepala sekolah mengadakan rapat terbuka bersama warga sekolah, masyarakat, dan pemerintah mengenai hasil lulusan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan standar penilaian sekolah.
Contoh penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
a. Prinsip Partisipasi
Dalam pembelajaran dikelas siswa harus aktif. Aktif bertanya, mencari materi sendiri dan berpartisipasif dalam proses belajar. Jadi, guru tidak selalu menggunakan metode ceramah. Siswa aktif dan guru pasif.
b. Prinsip Transparansi
Dalam pembelajaran dikelas guru adil dan transparan dalam memberikan nilai. Tidak memandang dari segi apapun kecuali dari potensi kemampuan siswa yang dimiliki. Selain itu guru harus membuat silabus yang benar sebagai bukti yang nyata untuk proses pembelajaran.
c. Prinsip Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai guru. Harus mengajar sesuai jadwal dan kalender akademik. Menyelesaikan bahan ajar sesuai kurikulum. Sedangkan siswa bertanggungjawab atas semua hasil yang diperoleh, yaitu dalam bentuk prestasi dan nilai-nilai yang baik.

  1. Prospek Guru Dalam MBS

Jalal dan Supriadi (2001) dalam Mulyasa (2006: 74-75) mengemukakan bahwa dalam menerapkan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, perlu identifkasi urusan-urusan yang ditangani pusat dan yang dilimpahkan ke daerah. Hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan selektif dengan mempertimbangkan kepentingan sebagai berikut:
1.    Alokasi jatah guru yang diangkat di tiap daerah berdasarkan formasi secara nasional sesuai dengan anggaran yang tesedia.
2.    Penggajian guru yang bersumber dari RAPBN meengacu pada sistem penggajian pegawai negeri disertai tunjangan profesionalnya.
3.    Mutasi guru antar propensi.
4.    Pembuatan rambu-rambu (guide lines) yang berisi syarat-syarat minimal tentang kwalifikasi minimal calon guru, sistem rekrutmen, sistem pembinaan mutu, sistem pengembangan karier, serta penempatan dan mutasi guru antar propensi.
5.    Evaluasi dan monotoring terhadap pelaksanaan standar-standar nasional oleh daerah beserta sangsinya.
Sedangkan urusan-urusan yang dilimpahkan ke daerah , dengan berpedoman kepada standar nasional yang disusun oleh pusat, adalah sebagai berikut:
1.    Rekrutmen dan seleksi calon guru yang akan diangkat sebagai PNS.
2.    Rekrutmen dan peningkatan calon guru untuk memenuhi kebutuhan khusus (guru kontrak, guru bantu, guru pengganti sementara) yang anggarannya menjadi beban daerah atau proyek-proyek khusus yang didanai oleh pusat.
3.    Penempatan atau mutasi guru dalam lingkup daerah yang bersangkutan.
4.    Penilaian kinerja guru dalam rangkakenaikan pangkat, promosi jabatannya, dan pemberian tunjangan atas dasar prestasinya.
5.    Penetapan jumlah dan pemberian tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan daerah yang bersangkutan (di luar gaji/ tunjangan sebagai PNS).
6.    Pembinaan mutu guru melalui pelatihan, penataran serta wahana-wahana lainnya.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa daerah hanya akan memiliki kewenangan dalam mengelola pendidikan karena kemampuan daerah untuk menanggung beban gaji guru dalam APBD masih cukup berat. Untuk membebankan gaji guru kepada daerah, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.    Besarnya pendapatan asli daerah (PAD)
2.    Jumlah guru yang ada di daerah tersebut
3.    Ada atau tidaknya sumber daya alam yang dapat menunjang PAD dari dana pertimbangan pusat daerah.

3.        Efektivitas, Efisiensi dan Produktivitas MBS

Efektivitas MBS
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa pengertian efektivitas ialah keefektifan. Mulyasa (2006: 82) menjelaskan pengertian efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam upaya mewujudkan tujuan operasional. Sedangkan Sondang P. Siagian (2001: 24) dalam http://othenk.blogspot.com/2008/11/pengertian-tentang-efektivitas.html memberikan definisi  bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas ialah keberhasilan seseorang atau organisasi dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan.
Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.
Efektivitas dapat dilihat perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan. Engkoswara dalam Mulyasa (2006: 84) mengemukakan bahwa keberhasilan manajemen pendidikan adalah produktivitas pendidikan yang dapat di lihat dari efektivitas dan efisiensi.
Sergiovanni (1987) dalam Mulyasa (2006: ) mengidentifikasikan bahwa efektivitas MBS dapat dilihat dari efektivitas kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya.
Sedangkan Nurkolis (2003) mengemukakan bahwa pada sekolah-sekolah yang dikontrol dari luar, perkembangan misi dan tujuan sekolah tidaklah penting. Pada sekolah tradisional, indicator utama efektivitas sekolah ialah prestasi akademik. Dalam MBS, efektivitas mempunyai indicator multitingkat, yaitu meliputi tingkat sekolah, kelompok, dan individual, serta multisegi meliputi input, proses, dan output. Efektivitas yang dinilai meliputi proses pembelajaran dan metode untuk menunjang kemajuan sekolah.
Barometer efektivitas MBS dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluesan dan adaptasi, semangat kerja, motivasi, ketercapaian tujuan, ketepatan waktu serta ketepatan pendayagunaan sarana, prasarana, dan sumber belajar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

Efisiensi MBS
Selain dilihat dari segi efektivitas, implementasi MBS juga perlu dianalisis dari segi efisiensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan ”efisien /éfisién/ a 1 tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dng tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya); 2 mampu menjalankan tugas dng tepat dan cermat; berdaya guna; tepat guna.” Dharma (1991) dalam mulyasa (2006: 89) mengemukakan bahwa efisiensi mengacu pada perbandingan antara input dengan output, tenaga dan hasil, perbelanjaan dan masukan, biaya serta kesenangan yang dihasilkan. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber daya minimal. Sedangkan H. Emerson dalam http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efisiensi/ menerangkan bahwa:
“Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan.”

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum efisiensi ialah perbandingan antara input dengan output yang mengacu pada keberdayagunaan atau ketepatgunaan.
Efisiensi adalah aspek yang sangat penting dalam manajemen sekolah pada masalah kelangkaan sumber dana yang secara lansung mempengaruhi kegiatan manajemen. Dalam menganalisis efisiensi MBS perlu diperhatikan input, proses dan output MBS tersebut.
Input pendidikan maupun MBS ialah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan manajemen sekolah dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Output dalam hal MBS ialah segala yang dikelola dan dihasiklkan oleh sekolah. Hal itu dapat dilihat dari berapa banyak dan berapa baik yang dihasilkan serta dikelola oleh sekolah. Output tersebut dapat berupa perubahan perilaku baik kognitif, afektif, maupun psikomotor, pada pengelola sekolah baik itu peserta didik, kepala sekolah, guru, maupun pegawai, serta dampak atau pengaruhnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Proses pendidikan dan manajemen sekolah berupa interaksi antara factor-faktor manusiawi dengan factor-faktor non manisiawi dan seluruh proses pengelolaan sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan waktu yang disediakan.
Tingkat efisiensi dapat dilihat antara lain dari banyaknya tahun yang dihabiskan oleh peserta didik dalam siklus tertentu untuk menyelesaikan studinya, kemampuan menyelesaikan banyak proses atau kegiatan dalam waktu yang relatif singkat, dan sebagainya.
Peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan keprofesionalan manajemen sekolah dan partisipasi dalam pengelolaan sekolah. Selain itu, analisis serta pengkajian data dan informasi perlu dilakukan secara terus-menerus dan mendalam agar setiap unit kerja di sekolah dapat melaksanakan MBS yang semakin efisien.

Produktivitas MBS
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas siartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu; daya produksi; keproduktifan. Menurut Marvin E Mundel dalam http://www.scribd.com/doc/16733299/Konsep-Produktivitas, produktivitas didefinisikan sebagai rasio keluaran yang menghasilkan untuk penggunaan di luar organisasi, yang memperbolehkan untuk berbagai macam produk dibagi oleh sumber-sumber yang digunakan, semuanya dibagi oleh suatu rasio yang sama dari periode dasar.
Konsep produktivitas pada awalnya dikemukakan oleh Quensney, ekonom Perancis pada tahun 1776. Maka dari itu pengertian produktivitas senantiasa dikaitkan dengan nilai ekonomis suatu kegiatan, yakni bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya dan dana sekecil mungkin.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian produktivitas ialah kemampuan dalam menghasilkan sesuatu yang semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya yang seminimal mungkin.
Mulyasa (2006: 92) mengemukakan bahwa ”Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.” Secara sederhana produktivitas pendidikan dapat diukur dengan melihat indeks pengeluaaran riil pendidikan seperti dalam National Income Blue Book, dengan cara menjumlahkan pengeluaran dari banyaknya peserta didik tang dididik. Namun pengukuran ini terbilang sangat kasar karena sama sekali tidak menceritakan apapun tentang kualitas lulusan program pendidikan, juga derajat efisiensi berbagai sumber yang digunakan.
Thomas (1982) dalam Mulyasa (2006: 93-94) berpendapat, produktivitas pendidikan dapat ditinjau dari tiga dimensi berikut ini.
1.    Segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan, baik oleh guru, kepala sekolah, maupun pihak lain yang berkepentingan.
2.    Segi keluaran perubahan perilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu di sekolah.
3.    Segi keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Mencakup harga layanan yang diberikan dan perolehan yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut peningkatan nilai baik.
Produktivitas dalam pelaksanaan MBS dapat diukur dengan berbagai metode dan teknik. Salah satunya adalah dengan melakukan analisis terhadap beberapa aspek yang ada di sekolah, antara lain tenaga kependidikan, guru, gaji guru, ahli ekonomi dan sekolah, serta pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Berikut ini merupakan paparan dari aspek-aspek tersebut.
1.   Tenaga Kependidikan
Peramalan kebutuhan-kebutuhan akan tenaga kerja dalam konteks ekonomi pendidikan membutuhkan pengetahuan mengenai kualifikasi kependidikan dan keterampilan tenaga kerja yang sudah ada. Seiring dengan berkembangnya ekonomi, adaptabilitas tenaga kerja yang sudah ada menjadi suatu hal yang penting dipertimbangkan, dan tingkat pendidikan umum yang tinggi merupakan suatu prasarat utama bagi banyak perubahan yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan.
2.   Guru dan Gaji Guru
Kemampuan merupakan sumber yang paling langka digunakan untuk menentukan aspek kuantitas pendidikan. Menurut catatan banyak pengamat ekonomi pendidikan, biaya paling besar dalam pendidikan adalah yang berkenaan dengan waktu dan tenaga peserta didik.
Sistem gaji guru hendaknya dipandang dengan menggunakan kacamata konvensi-konvensi sosial, periode lamanya seorang guru mengabdi, juga harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan gajinya.

3.   Ahli Ekonomi dan Sekolah
Pesatnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan para ahli ekonomi cenderung berpikir untuk jangka panjang, mereka tidak menggunakan pandangan yang statis, tetapi melihat lebih jauh ke depan dan lebih realistis lagi untuk masa mendatang.
Suatu sistem pendidikan harus dinilai kembali secara kontinu, dengan tujuan untuk melihat relevansi dan efisiensi pengajaran yang diselenggarakan sekolah.
Untuk mengkaji suatu kependidikan, pada hakikatnya perlu dilakukan dari berbagai aspek yang mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan tersebut, mulai dari ideologi negara dan masyarakat, harapan masyarakat pada pendidikan, sampai pendidikan guru dsb.
4.   Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar